Haji Agus Salim (kanan) tengah berbincang dengan Ir. Soekarno |
Pancarona Sejarah - Haji Agus Salim adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Beliau berjuang dengan jalan pengetahuan dan kemampuannya berdiplomasi.
Beliau memulai pendidikannya dari Europeesche Lagere School (ELS), kemudian berlanjut ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Di usia muda, Agus Salim mampu mengusai tujuh bahasa asing, antara lain Arab, Belanda, Inggris, Turki, Prancis, Jepang, dan Jerman. Keahlian berbahasa inilah yang mampu menunjang manuver diplomatik yang selama ini beliau perjuangkan.
Oleh sebab kemampuan diplomasinya inilah, Agus Salim sering dianggap sebagai diplomat ulung Indonesia. Dari kejeniusan dan ketekunannya, pada 1947 Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dan perjanjian persahabatan dengan Mesir. Pada awal Kemerdekaan, kepercayaan dari negara lain tentang kedaulatan Indonesia menjadi sangat penting guna syarat pendirian sebuah negara.
Saat Indonesia merdeka, beliau menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Hal ini tidaklah terlepas dari kemampuan penguasaan bahasa dan diplomasinya. Walaupun beliau adalah seorang Menteri, beliau memiliki hidup yang terbilang sederhana.
Kesederhaan Haji Agus Salim ini terlihat dari kehidupannya. Beliau sering berpindah-pindah rumah kontrakan (nomaden) untuk tempat tinggal. Guna menyegarkan suasana, beliau biasanya akan mengubah tata letak meja, almari, dan tempat tidur di rumahnya.
Saat seorang anaknya wafat, Agus Salim bahkan tidak punya uang untuk membeli kain kafan. Beliau lalu membungkus anaknya dengan taplak meja dan kelambu. "Orang yang masih hidup lebih berhak memakai kain baru, untuk orang yang mati, cukuplah kain itu," demikian pendapat Agus Salim.
Kesederhaan Agus Salim ini pun telah dibuktikan langsung oleh Mr Moch. Roem, murid H. Agus Salim sekaligus juga tokoh Masyumi. Pada suatu ketika di tahun 1925, Moch. Roem berkunjung ke rumah Haji Agus Salim. Ia bersilaturahmi ditemani Kasman dan Soeparno, dua pemuda pelajar Stovia. Mereka mengunjungi rumah Haji Agus Salim yang terselip di Gang Tanah Tinggi, Jakarta. Rumah sederhana untuk ukuran seorang cendekiawan, pejuang, dan diplomat bangsa.
Bagi Roem, kunjungan itu sangatlah berarti. Beliau bisa mendengarkan secara langsung mengenai gagasan dan pemikiran Haji Agus Salim, di tengah para pemuda yang sedang menyongsong pergerakan. Roem berkisah, dari asrama Stovia di Gang Kwini, ia bersepeda selama 10 menit menuju Tanah Tinggi, rumah Haji Agus Salim.
"Jalan yang diaspal pada saat itu hanya sampai Stasiun Senen, seterusnya jalan tanah biasa dan berlubang-lubang. Lewat jalan ini dengan sepeda, bagaikan naik perahu di atas air yang berombak," demikian kisah Roem, yang terekam di Jurnal Prisma, edisi 8/1977.
Ketika hujan, jalan sempit menuju rumah Agus Salim tergenang air dengan tanah yang belepotan. Jika menunggang sepeda, tanah lumpur akan melekat pada roda dan tidak bisa dikayuh. Sepeda harus dipanggul agar tetap bisa sampai tujuan. Itu yang dilakukan Kasman, kawan Moch. Roem, ketika berkunjung ke rumah Agus Salim. Itulah sedikit gambaran singkat tentang bagaimana kondisi rumah Haji Agus Salim yang sederhana.
Di hadapan Roem dan kawan-kawannya, Haji Agus Salim terlihat bersahaja. Tuan rumah yang menyambut para tamunya, para pelajar yang berkobar semangat itu, untuk duduk di serambi rumah. Mereka kemudian terlibat dalam perbincangan.
"Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita. Leiden is lijden," demikian kesaksian Haji Agus Salim.
Lihatlah bagaimana kehidupan Haji Agus Salim yang tidak pernah ada sumpah serapah meminta jabatan, tunjangan rumah dinas, tunjangan kendaraan, tunjangan kebersihan WC, tunjangan dinas luar negeri untuk pelesiran, dan lain-lain. Beliau adalah seorang pejuang yang lebih memilih jalan becek dan sunyi, berjalan kaki dengan tongkatnya dibandingkan gemerlapan karpet merah dan mobil Land Cruiser Alphard.
Anda tentu merindukan sosok sebagaimana Haji Agus Salim ini, yang senantiasa berada dalam ruang kesederhanaan guna mengisi kekosongan nurani rakyat. Beliau adalah teladan bagi sosok pemimpin bangsa.
Bagi Agus Salim, memimpin adalah menderita. Menjadi seorang pemimpin haruslah siap menderita untuk kesungguhan cita-cita dan kesejahteraan bangsa yang dipimpinnya. Haji Agus Salim membuktikan bahwa beliau mampu membawa kesederhanaan hidupnya ini hingga ajal tiba. Walaupun beliau sebenarnya mampu memperoleh uang dan gelimang harta, dengan pergaulan lintas pejabat, diplomat, dan peran kuncinya di berbagai peristiwa internasional. Namun, beliau menolak untuk serakah. Menurutnya, cukuplah kesederhanaan sebagai teman hidupnya.
EmoticonEmoticon