Teungku Cik Di Tiro (1836-1891)
SK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NO. 087/TK/TAHUN 1973
TANGGAL 6 NOVEMBER 1973
Muhammad Saman yang lebih dikenal dengan nama Teungku Cik Di Tiro, adalah seorang pahlawan dari Aceh. Beliau adalah putra dari Teungku Sjech Ubaidillah. Sedangkan, ibunya bernama Siti Aisyah, yang merupakan putri dari Teungku Sjech Abdussalam Muda Tiro.
Teungku Cik Di Tiro lahir pada tahun 1836, yang bertepatan dengan tahun 1251 Hijriah di Dajah Krueng kenegerian Tjombok Lamlo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Beliau dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
Ketika beliau sedang menunaikan ibadah haji di Mekkah, beliau juga memperdalam lagi ilmu agamanya. Tidak hanya itu, beliau juga mengunjungi pimpinan-pimpinan Islam yang berada di sana sehingga beliau mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme.
Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Teungku Cik Di Tiro sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan inilah yang kemudian beliau buktikan dalam kehidupan nyata hingga kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil. Dengan Perang Sabilnya itu, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula dengan wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda pun, juga jatuh ke tangan pasukan Cik Di Tiro.
Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Cik Di Tiro dapat merebut benteng Belanda Lambaro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan dengan perlawanan yang dilakukan oleh Cik Di Tiro, hingga akhirnya pihak Belanda memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun, Cik Di Tiro kemudian memakannya. Beliau meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.
Sumber:
Said, Julinar dan Wulandari, Triana. 1995. Ensiklopedi Pahlawan Nasional. Jakarta: Sub Direktorat Sejarah Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jendral Kebudayaan.
EmoticonEmoticon