Sri Susuhunan Pakubuwono VI (1807-1848)
SK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NO. 294/TAHUN 1964
TANGGAL 17 NOVEMBER 1964
Raden Mas Sapardan atau yang lebih dikenal dengan Pakubuwono VI, lahir di Surakarta pada 26 April 1807. Beliau merupakan putera
ke-11 dari Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono V dari permaisurinya Raden Ayu Sosrokusumo.
Pakubuwono VI menjadi raja pada tahun
1823. Sewaktu beliau memerintah, pemerintah Belanda terlalu banyak ikut campur dalam urusan kerajaan.
Pada tahun 1825-1830, Pangeran Diponegoro mengadakan pemberontakan untuk melawan Belanda. Dalam peperangan ini, kerajaan Surakarta semula berpegang teguh pada pendiriannya sendiri yaitu bersikap sebagai daerah yang merdeka. Pendirian tersebut membuat Belanda beranggapan bahwa Pakubuwono VI bersikap mendua dan membahayakan kedudukan Belanda.
Apalagi secara diam-diam, Pakubuwono sering mengadakan pertemuan dan bantuan fisik kepada pasukan Diponegoro. Belanda menganggap dua bangsawan ini harus dipecah belah. Akhirnya, Belanda kemudian menyodorkan surat perjanjian kepada Pakubuwono VI, yang isinya pengurangan kekuasaan raja.
Dengan dilandasi sikap anti Belanda, maka suatu saat Pakubuwono meninggalkan istana selama beberapa hari ke Imogiri dan dilanjutkan ke daerah lain. Tindakan Pakubuwono tersebut dianggap Belanda sebagai tindakan makar. Kemudian, Belanda menangkap Pakubuwono di Mantingan dan dibawa ke Surakarta selanjutnya dibawa ke Semarang. Dari Semarang, Pakubuwono diasingkan ke Ambon.
Paku Buwono VI meninggal di Ambon pada tahun 1649. Kemudian, pada tahun 1956 makam dari Pakubuwono VI dipindahkan ke Imogiri.
Sumber:
Said, Julinar dan Wulandari, Triana. 1995. Ensiklopedi Pahlawan Nasional. Jakarta: Sub Direktorat Sejarah Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jendral Kebudayaan.
EmoticonEmoticon